Komitmen net zero yang kuat antar perusahaan Asia Pasifik dengan peningkatan pelaporan emisi GRK: PwC dan NUS Business School

  • Press Release
  • 08 May 2025
  • Dari 700 perusahaan yang diteliti: 53% (371 perusahaan) telah menetapkan komitmen net zero, meningkat dari 47% (329 perusahaan) berdasarkan laporan tahun lalu.

  • 37% dari 371 perusahaan dengan target net zero mengungkapkan bahwa target mereka telah berbasis sains, namun hanya 18% diantaranya yang telah memverifikasi target net zero mereka dengan inisiatif Science Based Target (SBTi).

  • 63% dari 650 perusahaan1 mengungkapkan emisi Scope 3, naik 50% dari 700 perusahaan dibandingkan laporan tahun lalu; namun, sebagian besar hanya memberikan rincian kategori minimal2.

  • Dari 638 perusahaan yang mendeskripiskan pendekatan materialitas, 51% menyatakan bahwa mereka mengadopsi pendekatan materialitas ganda – sebuah konsep yang menggabungkan materialitas dampak dan materialitas finansial.

  • Walau hampir setengah dari 357 perusahaan yang melakukan analisis skenario iklim mengungkapkan skenario kuantitatif dan kualitatif (45%), proporsi yang sama (46%) hanya mengungkapkan skenario iklim kualitatif, menunjukkan bahwa proses kuantifikasi risiko terkait iklim sedang berjalan.

  • 62% telah melibatkan aspek alam dan keanekaragaman hayati, meskipun hanya 7% yang merujuk pada kerangka kerja “Taskforce for Nature-related Financial Disclosure (TNFD)” untuk pelaporan alam dan keanekaragaman hayati mereka.

Jakarta, 8 Mei 2025 – Penelitian edisi ketiga oleh PwC Singapore dan Centre for Governance and Sustainability (CGS) at the National University of Singapore (NUS) Business School, Sustainability Counts III: Sustainability Reporting in Asia Pacific, mengungkapkan kemajuan dan tantangan dalam pelaporan keberlanjutan di kawasan ini. Meski jumlah perusahaan Asia Pasifik yang telah menetapkan target net zero lebih banyak, hanya 18% yang mendukung ambisi ini dengan target yang diverifikasi oleh inisiatif Science Based Target (SBTi)3. SBTi sedang meninjau Corporate Net Zero Standard dan GHG Protocol juga telah melakukan survei untuk menginformasikan ruang lingkup pembaruan dari standar dan panduannya. Selain itu, ditemukan peningkatan dalam pelaporan emisi Scope 34, meskipun masih ada ruang untuk lebih banyak informasi mengenai relevansi dari kategori-kategori pada emisi Scope 3. Dengan perhatian dunia terhadap aksi iklim, studi yang meninjau laporan dari 50 perusahaan teratas di 14 yurisdiksi5 Asia Pasifik ini memberikan gambaran tentang keadaan pelaporan keberlanjutan di kawasan ini.  

Professor Lawrence Loh, Direktur Centre for Governance and Sustainability di NUS Business School mengatakan, “Meskipun terdapat kemajuan signifikan dalam pelaporan keberlanjutan oleh perusahaan Asia Pasifik, terutama dengan pertumbuhan yang menonjol dalam pelaporan emisi Scope 3, masih ada kesenjangan besar dalam hal verifikasi dan transparansi. Beberapa perusahaan telah menvalidasi target net zero mereka melalui inisiatif SBTi, menekankan kebutuhan yang lebih besar terhadap akuntabilitas. Mengingat kembali pernyataan COP29 mengenai urgensi aksi iklim, temuan kami menyoroti kebutuhan kritis akan kerangka kerja tata kelola yang kuat dan strategi iklim yang dapat ditindaklanjuti untuk mendorong pembangunan berkelanjutan di seluruh Asia Pasifik.”

Perusahaan yang menerapkan lensa materialitas ganda

Penelitian tahun ini juga memeriksa pendekatan penilaian materialitas, baik materialitas dampak, materialitas finansial, maupun materialitas ganda. Yuliana Sudjonno, PwC Indonesia Partner and Sustainability Leader, mengatakan, "Penilaian materialitas adalah bagian penting dari pelaporan keberlanjutan, membantu organisasi dalam mengidentifikasi dan memprioritaskan isu ESG yang paling signifikan bagi bisnis dan pemangku kepentingan mereka. Dengan memahami dan menerapkan konsep-konsep ini, organisasi dapat membuat laporan keberlanjutan yang lebih kuat dan bermakna. Pendekatan ini membantu mereka mengelola risiko, memanfaatkan peluang, dan menunjukkan komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan dengan mempertimbangkan dampak eksternal dan implikasi finansial internal dari isu ESG."

Memahami materialitas dampak dan finansial memberikan gambaran luas tentang isu yang dihadapi perusahaan, kapan isu tersebut akan mempengaruhi kinerja, dan biaya yang dibutuhkan untuk mencapai target. Proses ini membantu perusahaan mengalokasikan sumber daya untuk menghadapi isu-isu penting yang dialami, memahami jangka waktu materialitas, dan mengukur tindakan mitigasi dengan memahami implikasi biaya dan manfaat terhadap kinerja finansial.

51% perusahaan menyatakan bahwa mereka mengadopsi pendekatan materialitas ganda – sebuah konsep yang menggabungkan materialitas dampak dan materialitas finansial – diikuti oleh pendekatan materialitas dampak (18%), menunjukkan bahwa perusahaan tidak hanya fokus pada kelangsungan finansial mereka tetapi juga dampak mereka terhadap masyarakat dan lingkungan. Dalam konteks Indonesia, sebagian besar perusahaan yang terdaftar di Indonesia mengadopsi pendekatan materialitas dampak (51%), namun, 10% perusahaan yang terdaftar di Indonesia tidak mengungkapkan proses seleksi atau alasannya.

Perusahaan-perusahaan memperkuat identifikasi risiko dan peluang terkait iklim, namun kuantifikasi risiko yang ada tetap berlangsung

Di seluruh Asia Pasifik, 81% dari 6506 perusahaan yang diteliti telah mengungkapkan proses mereka dalam mengelola risiko dan/atau peluang terkait iklim, sebuah peningkatan dari 74% dibandingkan 700 perusahaan pada laporan tahun lalu. Selain itu, dari 13 yurisdiksi, sembilan mengalami peningkatan dalam pelaporan proses pengelolaan risiko dan peluang terkait iklim dibandingkan laporan tahun lalu.

Meskipun ada peningkatan permintaan bagi perusahaan untuk mengkuantifikasi dampak dari potensi skenario iklim – selain memberikan analisis kualitatif – laporan menemukan bahwa hampir setengah (45%) dari 650 perusahaan yang melakukan analisis skenario iklim telah mengungkapkan skenario kuantitatif dan kualitatif. Sementara itu, setengah lainnya (46%) hanya mengungkapkan analisis skenario kualitatif. Ini menunjukkan bahwa mengembangkan dan mengungkapkan analisis skenario kuantitatif menghadirkan beberapa tantangan, termasuk kurangnya data yang akurat dan komprehensif tentang dampak iklim, emisi, dan metrik finansial yang mungkin sulit diperoleh.

Pelaporan terkait alam dan keanekaragaman hayati menunjukkan hasil yang baik, namun penerapan kerangka TNFD masih dalam tahap awal

Isu alam dan keanekaragaman hayati menjadi hal yang semakin penting dalam pelaporan non-finansial organisasi, terutama karena hubungan antara alam dan iklim semakin dapat dimengerti. Yuliana mengatakan, "Di seluruh Asia Pasifik, lebih dari setengah (62%) perusahaan yang diteliti telah menyertakan aspek alam dan keanekaragaman hayati dalam laporan keberlanjutan mereka. Perusahaan yang terdaftar di Jepang (94%), Indonesia (92%), dan Korea Selatan (86%) memiliki tingkat pengungkapan tertinggi terkait isu alam dan keanekaragaman hayati. Namun, hanya 7% perusahaan yang mengungkapkan bahwa mereka saat ini merujuk pada kerangka kerja TNFD untuk pelaporan alam dan keanekaragaman hayati mereka, sementara 11% berencana untuk menyesuaikan dengan kerangka kerja tersebut di masa depan."

Kemajuan dalam pengungkapan emisi Scope 3 meski ada kompleksitas

Studi ini mengungkapkan naiknya tingkat pengungkapan emisi Scope 1 dan Scope 2, yang meningkat dari 80% dari 700 perusahaan (di tahun sebelumnya) menjadi 88% dari 650 perusahaan7 tahun ini untuk kedua area tersebut. Meskipun tingkat pelaporan emisi Scope 3 tetap lebih rendah, terdapat peningkatan yang signifikan, naik dari 50% menjadi 63%8. Walau terdapat peningkatan, banyak perusahaan yang masih fokus melaporkan emisi Scope 3 mereka di area yang kurang kompleks, seperti perjalanan bisnis.

Perkembangan dalam tanggung jawab dewan dan pelaporan remunerasi terkait kinerja keberlanjutan

Penelitian ini menyoroti peningkatan yang kontinu dalam pelaporan keberlanjutan, dengan 86% perusahaan kini mengungkapkan tanggung jawab dewan Direksi terhadap keberlanjutan, mencerminkan peningkatan tata kelola seiring dengan kewajiban pelaporan terkait iklim di berbagai yurisdiksi. Lebih lanjut, 42% perusahaan telah mengaitkan remunerasi eksekutif dengan kinerja atau target keberlanjutan, meningkat dari 33% pada laporan tahun lalu. Hal ini menunjukkan keselarasan yang lebih kuat antara insentif kepemimpinan dengan tujuan keberlanjutan. Namun, hanya 6% perusahaan yang mengungkapkan persentase spesifik remunerasi yang terkait dengan kinerja atau target iklim, tidak memenuhi rekomendasi di bawah IFRS S2 Climate-related Disclosures. 

Mengungkapkan bagaimana perusahaan mengaitkan remunerasi dengan kinerja keberlanjutan dan terkait iklim mendorong transparansi, akuntabilitas, dan keselarasan kepentingan. Ini membangun kepercayaan dengan pemangku kepentingan, meningkatkan kinerja, serta mendukung tujuan nilai dan keberlanjutan jangka panjang. Hal ini juga meningkatkan manajemen risiko dan ketahanan bisnis terhadap perubahan iklim. Menentukan persentase remunerasi yang terkait dengan keberlanjutan memberikan kemajuan yang terukur dan memotivasi kepemimpinan serta karyawan. Berdasarkan IFRS S2, pemerintah mungkin secara bertahap akan mewajibkan pelaporan persentase secara spesifik.

Permintaan pemangku kepentingan mendorong peningkatan jaminan keberlanjutan

Permintaan akan informasi keberlanjutan yang terpercaya, contohnya dari investor, menyebabkan peningkatan jaminan eksternal atas laporan keberlanjutan. Studi menunjukkan bahwa 60% perusahaan mencari jaminan eksternal, meningkat dari 49% pada laporan tahun lalu meskipun regulasi jaminan baru dimulai beberapa tahun kemudian. Namun, 78% perusahaan dengan jaminan eksternal hanya mencari jaminan terbatas atau moderat, menunjukkan adanya ruang untuk peningkatan dalam praktik jaminan yang lebih kuat. Seiring dengan meningkatnya permintaan investor akan kejelasan dan konsistensi, lebih banyak yurisdiksi yang mempertimbangkan atau mewajibkan jaminan atas informasi keberlanjutan, dengan rencana untuk beralih ke jaminan yang lebih masuk akal.

Catatan untuk editor

  1. Studi ini berfokus pada 50 perusahaan terdaftar teratas berdasarkan kapitalisasi pasar di 14 yurisdiksi terpilih di Asia Pasifik, yaitu: Australia, Tiongkok Daratan, Hong Kong SAR, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, Selandia Baru, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Sebanyak 700 perusahaan terdaftar diteliti.
  2. Informasi yang ditinjau didasarkan pada laporan keberlanjutan dan laporan tahunan terbaru yang tersedia pada Mei 2024. Hanya perusahaan yang laporan keberlanjutannya disampaikan dalam bahasa Inggris yang termasuk.

  3. Perusahaan yang termasuk dalam seri Sustainability Counts dapat bervariasi selama periode tiga tahun, karena 50 perusahaan teratas di setiap yurisdiksi dipilih berdasarkan kapitalisasi pasar terbaru pada awal setiap studi. Akibatnya, ini dapat mempengaruhi perbandingan dari tahun ke tahun.

  4. Karena penerapan regulasi pelaporan iklim yang baru di Selandia Baru dan akhir tahun keuangan yang khas untuk perusahaan di sana, hasil Selandia Baru tahun 2024 dikecualikan dari Gambar 10 hingga 21 dalam laporan, karena memberikan data yang kurang bermakna untuk analisis.

Tentang PwC Indonesia 

PwC Indonesia terdiri dari KAP Rintis, Jumadi, Rianto & Rekan, PwC Tax Indonesia, PwC Legal Indonesia, PT Prima Wahana Caraka, PT PricewaterhouseCoopers Indonesia Advisory, dan PT PricewaterhouseCoopers Consulting Indonesia, yang masing-masing merupakan entitas hukum terpisah dan semuanya bersama-sama membentuk firma anggota Indonesia dari jaringan global PwC, yang secara kolektif disebut sebagai PwC Indonesia. Kunjungi situs web kami di www.pwc.com/id

Tentang PwC 

Di PwC, kami membantu klien membangun kepercayaan dan berinovasi sehingga mereka dapat mengubah kompleksitas menjadi keunggulan kompetitif. Kami adalah jaringan yang berorientasi pada teknologi dan diberdayakan oleh lebih dari 370.000 orang di 149 negara. Melalui audit dan jaminan, pajak dan hukum, transaksi dan konsultasi, kami membantu membangun, mempercepat, dan mempertahankan momentum. Temukan lebih lanjut di www.pwc.com.

Tentang NUS Business School

Sekolah Bisnis Universitas Nasional Singapura (NUS) dikenal karena memberikan kepemimpinan pemikiran manajemen dari perspektif Asia, memungkinkan siswa dan mitra korporatnya untuk memanfaatkan pengetahuan global dan wawasan Asia.

Sekolah ini secara konsisten menerima peringkat teratas di kawasan Asia-Pasifik oleh publikasi dan lembaga independen, seperti The Financial Times, Economist Intelligence Unit, dan QS Top MBA, sebagai pengakuan atas kualitas program, penelitian fakultas, dan lulusannya.

Sekolah ini diakreditasi oleh AACSB International (Association to Advance Collegiate Schools of Business) dan EQUIS (European Quality Improvement System), yang menunjukkan bahwa sekolah ini telah memenuhi standar tertinggi untuk pendidikan bisnis. Sekolah ini juga merupakan anggota dari Graduate Management Admission Council (GMAC), Executive MBA Council, Partnership in Management (PIM), dan CEMS (Community of European Management Schools).

Untuk informasi lebih lanjut tentang Sekolah Bisnis NUS, silakan kunjungi bschool.nus.edu.sg.

Centre for Governance and Sustainability (CGS) di Sekolah Bisnis NUS didirikan pada tahun 2010. CGS bertujuan untuk memimpin penelitian berdampak tinggi tentang tata kelola perusahaan dan keberlanjutan di Singapura dan Asia-Pasifik serta berfungsi sebagai penilai nasional untuk kinerja keberlanjutan dan tata kelola perusahaan yang terdaftar di Singapura.

Seiring dengan meningkatnya permintaan dari konsumen dan investor agar pengembalian finansial dicapai dengan integritas, didukung dengan pertimbangan lingkungan dan sosial, CGS memiliki berbagai penelitian yang berfokus pada pelaporan keberlanjutan di Asia Pasifik, perbankan berkelanjutan, pelaporan alam, dan pelaporan iklim di ASEAN.

More information about CGS can be accessed at bschool.nus.edu.sg/cgs/

© 2025 PwC. All rights reserved.© 2025 PwC. All rights reserved.

Contact us

Cika Andy

External Communications, PwC Indonesia

Tel: +62 21 509 92901

Follow PwC Indonesia