Tingkat laporan kejahatan ekonomi global mencapai rekor tinggi; kekhawatiran soal kejahatan siber, biaya dan pertanggungjawaban meningkat

  • Sebanyak 49% perusahaan melaporkan tindak penipuan yang dialaminya dalam dua tahun terakhir, naik dari 36% perusahaan di tahun 2016  Sebagian besar pelaku eksternal (bertanggung jawab atas 40% tindak penipuan) merupakan “musuh dalam selimut” bagi perusahaan yang menjadi korban – agen, penyedia jasa bersama, vendor, dan pelanggan
  • Sebanyak 41% perusahaan telah menghabiskan sedikitnya dua kali lipat dari kerugian akibat kejahatan siber, untuk penyelidikan dan upaya-upaya intervensi lainnya
  • Sebanyak 64% perusahaan memperkirakan bahwa kerugian terkait dengan tindak penipuan yang paling merusak mencapai US$1 juta; 16% mengatakan kerugian tersebut mencapai antara US$1 juta dan US$50 juta
  • Kejahatan siber diperkirakan menjadi tindak penipuan yang paling merusak bagi perusahaan-perusahaan dalam 24 bulan ke depan

22 February 2018 - Kesadaran yang lebih luas dan pemahaman yang lebih mendalam tentang jangkauan, ancaman, dan kerugian akibat tindak penipuan dalam dunia usaha telah mendorong tingkat laporan kejahatan ekonomi ke angka tertinggi yang pernah tercatat dalam survei dua-tahunan PwC tentang kejahatan di dunia usaha.

Survei Global tentang Kejahatan Ekonomi dan Tindak Penipuan (Global Economic Crime and Fraud Survey) mengkaji tanggapan lebih dari 7.200 responden dari 123 negara.

Secara keseluruhan, 49% responden mengatakan bahwa perusahaannya menderita kerugian akibat tindak penipuan dalam dua tahun terakhir, meningkat dari 36% perusahaan di tahun 2016. Berdasarkan wilayah, Afrika (naik menjadi 62% dari 57%), Amerika Utara (naik menjadi 54% dari 37%) dan Amerika Latin (naik menjadi 53% dari 28%) melaporkan tingkat kejahatan ekonomi tertinggi.

Penyalahgunaan aset (45%) masih memimpin sebagai kejahatan ekonomi yang paling banyak dialami oleh perusahaan-perusahaan dalam 24 bulan terakhir, disusul ketat oleh kejahatan siber (31%), penipuan konsumen (29%), dan perbuatan salah di bidang usaha (28%).

Survei tahun ini mengungkap adanya kenaikan yang signifikan (+6% menjadi 52%) dalam jumlah kejahatan ekonomi yang dilakukan oleh pihak internal. Terdapat juga kenaikan dalam persentase kejahatan yang disebabkan oleh manajemen senior (dari 16% di tahun 2016 menjadi 24% di tahun 2018). Namun berdasarkan wilayah, hasil survei cukup bervariasi. Di Australia (64%), Inggris (55%), Kanada (58%); Argentina (44%), dan Amerika Serikat (48%), kejahatan yang paling banyak dilaporkan adalah kejahatan yang dilakukan oleh pihak eksternal.

Hasil survei yang diperoleh menggarisbawahi adanya tingkat kesadaran dan pemahaman yang tinggi tentang jenis-jenis tindak penipuan, para pelakunya, peran teknologi, dan potensi dampak penipuan serta kerugian terhadap usaha, seperti komentar dari Kristin Rivera, Global Forensics Leader PwC:

“Kita tidak dapat menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kejahatan yang dilaporkan, maka semakin tinggi pula tingkat kejahatan yang benar-benar dilakukan. Yang ditunjukkan oleh survei adalah bahwa terdapat tingkat pemahaman yang jauh lebih tinggi tentang apakah yang dimaksud dengan tindak penipuan dan di mana tindak penipuan itu terjadi. Kecenderungan ini terutama benar dalam hal kejahatan siber, di mana ada pemahaman yang lebih mendalam tentang isu-isu, penyelidikan, analisis, dan investasi yang lebih besar dalam upaya-upaya pengendalian dan pencegahan.

“Akan tetapi, meskipun ada kemajuan dalam hal pemahaman dan pelaporan, fakta bahwa hanya sedikit di atas separuh (51%) responden mengatakan bahwa mereka belum, atau tidak mengetahui apakah mereka mengalami tindak penipuan dalam dua tahun terakhir, sehingga menunjukkan bahwa masih ada titik-titik lemah yang tidak terlihat di banyak perusahaan.”

Berikut ini adalah beberapa temuan penting dari survei tersebut:

  • Tiga jenis kejahatan terbesar yang dilaporkan adalah penyalahgunaan aset (45%), kejahatan siber (31%), dan penipuan konsumen (29%).
  • Sebanyak 18 negara melaporkan bahwa kejahatan siber lebih merusak dibandingkan rata-rata global (15%), termasuk Irlandia (39%), Belgia (38%), Korea Selatan (31%), Kanada (29%), Inggris (25%), dan AS (22%), di mana semua negara tersebut melaporkan persentase yang lebih tinggi daripada rata-rata global.
  • Motivasi karyawan, hubungan usaha, kerusakan terhadap kekuatan reputasi dan merek merupakan tiga dampak terbesar yang dilaporkan.
  • Jumlah laporan tentang gangguan akibat penipuan terkait kartu kredit nasabah dan penipuan keuangan mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada rata-rata global (29%) di antara wilayah-wilayah yang termasuk Afrika (36%); Eropa Timur (36%); dan Amerika Utara (32%).
  • Kejahatan siber berkemungkinan menjadi kejahatan ekonomi yang paling merusak dalam dua tahun mendatang, seiring pernyataan para responden bahwa dibandingkan dengan tindak penipuan lain, kejahatan siber mempunyai kemungkinan dua kali besar untuk dikenali sebagai kejahatan yang dapat berdampak pada perusahaan-perusahaan. Perkiraan ini juga didukung dengan semakin banyaknya orang yang melaporkan adanya rencana pencegahan dan pendeteksian yang telah diterapkan dan berjalan dengan baik (59%, naik dari 37% di tahun 2016).

Kerugian akibat penipuan dan upaya pencegahan

Seiring meningkatnya kesadaran dan isu tentang tindak penipuan dan kejahatan ekonomi, investasi untuk memeranginya pun semakin besar; suatu fenomena yang juga dapat dikaitkan dengan kerugian keuangan langsung yang dilaporkan dalam dua tahun terakhir. Dalam dua tahun ke depan, 51% perusahaan akan mempertahankan besaran investasinya untuk memerangi kejahatan ekonomi, sedangkan 44% perusahaan akan menambah investasinya.

Hampir dua per tiga (64%) responden berkata bahwa kerugian akibat tindak penipuan yang paling merusak yang pernah mereka alami dapat mencapai hingga US$1 juta; sementara 16% perusahaan berkata kerugian itu dapat mencapai antara US$1 juta hingga US$50 juta.

Sebanyak 42% (+3%) responden menunjukkan bahwa perusahaannya meningkatkan komitmen keuangannya untuk melawan kejahatan ekonomi selama dua tahun terakhir.

Didier Lavion, Principal, Forensic Services, PwC AS berkomentar;

“Dana yang dialokasikan untuk pendeteksian dan pencegahan kejahatan semakin besar, dan mempunyai efek berganda dalam hal pemahaman dan pendeteksian tindak penipuan. Sederhananya, dampak penipuan tidak lagi menjadi harga lazim yang harus dibayar untuk menjalankan usaha.”

Sebanyak 68% pelaku eksternal (yang bertanggung jawab atas 40% tindak penipuan) adalah “musuh dalam selimut” dari perusahaan-perusahaan korbannya – orang-orang yang mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan, termasuk para agen, penyedia jasa bersama, vendor, dan pelanggan.

“Para pelaku penipuan kini mempunyai tujuan-tujuan yang semakin strategis, dan metode-metode yang semakin canggih,” Lavion melanjutkan. “Bisnis penipuan itu sendiri merupakan bisnis besar; suatu usaha yang dimampukan oleh teknologi, inovatif, jeli melihat peluang, dan sangat marak – seperti pesaing terbesar yang tidak Anda ketahui.”


Para responden survei mengakui bahwa biaya-biaya sekunder seperti upaya-upaya penyelidikan dan intervensi dapat menaikkan biaya secara keseluruhan. Sebanyak 17% responden berkata bahwa mereka telah menghabiskan kembali jumlah yang sama dengan jumlah yang mereka keluarkan untuk penyelidikan dan/atau intervensi akibat tindak penipuan paling merusak yang mereka alami, dan 41% responden berkata bahwa mereka telah menghabiskan sedikitnya dua kali lipat jumlah kerugian yang mereka derita akibat kejahatan siber, untuk upaya-upaya penyelidikan dan intervensi lainnya.

 

Memerangi tindak penipuan

Di tengah semakin menurunnya toleransi publik terhadap kesalahan perusahaan maupun individu, selain memperkuat kendali internalnya, banyak responden melaporkan bahwa mereka melakukan upaya pencegahan tindak penipuan melalui prakarsa-prakarsa budaya perusahaan (melalui jalur pelaporan atau jalur telepon khusus baik internal maupun eksternal) yang berhasil mendeteksi 27% tindak penipuan.

Para responden juga melaporkan bahwa mereka menggunakan teknologi seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan analisis tingkat tinggi sebagai bagian dari upaya mereka untuk memerangi dan memantau tindak penipuan. Survei menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di pasar berkembang saat ini berinvestasi dalam teknologi canggih pada tingkat yang lebih cepat dibandingkan dengan sesama perusahaan di negara-negara maju: sebanyak 27% perusahaan di pasar berkembang saat ini menggunakan atau berencana mengimplementasikan AI untuk memerangi penipuan, dibandingkan dengan 22% perusahaan di pasar maju.

Walaupun terdapat tingkat pemahaman dan pelaporan tindak penipuan yang lebih tinggi, masih ada titik-titik lemah yang tidak terlihat. Sebanyak 46% responden secara global berkata bahwa perusahaan-perusaahaan mereka masih belum melakukan penilaian risiko apa pun atas risiko penipuan atau kejahatan ekonomi. Selain itu, persentase responden yang menunjukkan bahwa mereka mempunyai program resmi tentang etika dan kepatuhan bisnis menurun dari 82% menjadi 77%.

“Tindak penipuan adalah hasil dari gabungan keadaan dan motivasi yang kompleks, di mana hanya sebagian di antaranya dapat diatasi oleh mesin,” Kristin Rivera, Global Forensics Leader PwC, memberikan komentar.

“Meskipun teknologi mempunyai peran kuat yang dapat dilakukan terkait pemantauan dan pendeteksian, dalam hal menghalangi ‘langkah terakhir’ tindak penipuan, hasil dari prakarsa-prakarsa yang ditujukan untuk faktor manusia dapat jauh melebihi hasil investasi dalam teknologi baru lainnya.”

“Hal ini terutama relevan ketika Anda mempertimbangkan bahwa persentase yang cukup besar dari jumlah pelaku ‘eksternal’ terdiri dari pihak-pihak ketiga yang mempunyai hubungan usaha biasa dengan perusahaan: para agen, vendor, penyedia jasa bersama, pelanggan, dan masih banyak lagi. Semua pihak di dunia usaha harus mewaspadai pihak-pihak mana yang diizinkannya mengakses sistem dan proses-prosesnya.”

Paul van der Aa, PwC Indonesia Technical Advisor:

“Risiko tindak penipuan dan kejahatan ekonomi menjadi sangat penting di hampir setiap negara di dunia. Berdasarkan Global Economic Crime and Fraud Survey, di Asia Pasifik saja, tingkat pelaporan korban tindak penipuan atau kejahatan ekonomi naik menjadi 35% di tahun 2018 dari angka 25% di tahun 2016. Dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya, angka ini relatif rendah, namun ada kemungkinan bahwa hal itu diakibatkan oleh rendahnya kesadaran tentang tindak penipuan. Survei ini menyoroti langkah-langkah yang dapat diambil oleh perusahaan-perusahaan agar dapat memerangi tindak penipuan secara lebih efektif dan juga membantu mengidentifikasi celah-celah potensial yang dapat membawa risiko.”

“Dengan meninjau fakta-fakta tersebut, penting bagi kita untuk memahami tingkatan ancaman siber di Indonesia ketika dibandingkan dengan Negara-negara lainnya di Asia Tenggara. Selain itu, kita juga perlu memahami tingkatan tekanan atas pembayaran ‘suap’ atau ‘sogokan’ di Indonesia ketika dibandingkan dengan tingkatan rata-rata secara global.”

“Untuk memahami pengaruh dari isu ini di Indonesia, PwC Indonesia akan mengadakan forum berdasarkan hasil survey “Economic Crime and Fraud” yang fokus pada Indonesia”, tambah van der Aa.
 

Catatan

  1. Dalam Survei CEO Tahunan PwC ke-21, 59% CEO melaporkan tingkat tekanan yang lebih tinggi dari para pemangku kepentingan untuk meminta pertanggungjawaban pemimpin secara individual (59%), termasuk atas perbuatan salah. Di sektor Perbankan dan Pasar Modal (65%), Pelayanan Kesehatan (65%), dan Teknologi (59%), isu tentang pertanggungjawaban pemimpin lebih tinggi dari rata-rata. Demikian halnya dengan ekspektasi di A.S. (70%), Brasil (67%), dan Inggris (63%). 
  2. Sektor-sektor dengan tingkat Tindak Penipuan tertinggi: Asuransi (62%); Pertanian (59%); sektor Komunikasi (termasuk telekomunikasi) (59%); Jasa Keuangan (58%), Ritel dan Barang Konsumen (56%), dan Real Estate (56%) adalah beberapa sektor yang melaporkan tingkat tindak penipuan tertinggi. 
  3. Kejahatan siber: Lebih dari dua per tiga serangan siber disebabkan oleh phishing (33%) dan malware (36%). Kedua serangan tersebut merupakan bentuk paling lazim dari tindak penipuan yang terjadi di negara-negara seperti A.S., Kanada, dan Inggris. 
  4. Sebanyak 18 negara melaporkan kejahatan siber sebagai kejahatan yang lebih merusak dibandingkan rata-rata global (15%): Irlandia (39%), Belgia (38%), Belanda (33%), Korea Selatan (31%), Kanada (29%), Rumania (28%), Italia (26%), Inggris (25%), Swiss (23%), Prancis (22%), A.S. (22%), Luksemburg (21%), Portugal (21%), Swedia (21%), Uni Emirat Arab (21%), Australia (20%), Israel (18%), Selandia Baru (16%).

Tentang PwC

Di PwC, kami bertujuan membangun kepercayaan dalam masyarakat dan memecahkan masalah-masalah penting. Kami adalah jaringan firma yang terdapat di 158 negara dengan lebih dari 236.000 orang yang berkomitmen untuk memberikan jasa assurance, advisory dan pajak yang berkualitas. Temukan lebih banyak informasi dan sampaikan hal-hal yang berarti bagi Anda dengan mengunjungi situs kami di www.pwc.com.

PwC merujuk pada jaringan PwC dan/atau satu atau lebih firma anggotanya, masing-masing sebagai entitas hukum yang terpisah. Kunjungi www.pwc.com/structure untuk informasi lebih lanjut.

© 2018 PwC. Hak cipta dilindungi undang-undang.

Contact us

Cika Andy

External Communications, PwC Indonesia

Tel: +62 21 509 92901

Follow PwC Indonesia